Menyelamatkan Saudara Rimba Kita dalam Hulu-Hilir Perdagangan Satwa
![]() |
ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/rwa |
Indonesia merupakan salah satu episentrum keanekaragaman primata di dunia dan menjadi wilayah sebaran kunci bagi monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dan beruk (Macaca nemestrina), namun keduanya menunjukkan tren penurunan yang memprihatinkan. Status monyet ekor panjang[1] dan beruk[2] telah naik menjadi terancam punah, sebuah sinyal krisis yang bukan hanya menyangkut kelestarian spesies, tetapi juga stabilitas ekosistem.
Dalam waktu yang sama, Asia Tenggara (termasuk Indonesia) terdeteksi sebagai jantung perdagangan satwa liar dengan jaringan yang terorganisasi lintas negara dan tingkat vonis pelaku yang rendah, sehingga tekanan terhadap primata kian berlapis[3]. Dari kondisi ini kita patut memperhatikan dan secara kritis mempertanyakan terkait sejauh mana skala dan alur perdagangan ini di Indonesia, risiko zoonosis yang timbul dari situasi ini, serta celah regulasi dan kualitas penegakan hukum yang berkontribusi pada krisis monyet ekor panjang dan beruk di Indonesia, dan langkah prioritas apa yang paling realistis untuk memperbaiki hal tersebut.
Perlu diketahui bahwa rantai pasok perdagangan ini bermula di hulu, dimana perburuan di Sumatera[4], Kalimantan, dan Jawa[5], kemudian mengalir ke pengepul dan berujung pada pasar fisik serta platform daring[6]. Bukti empiris di lapangan menunjukkan bayi monyet ekor panjang dijual secara terbuka di Pasar Pramuka/Jatinegara (Jakarta) dan Pasar Burung Surabaya[7], sementara Pasar Satria Denpasar tercatat sebagai titik ritel yang juga menampung pasokan dari Sumatra[8].
Pemantauan YIARI yang dipublikasikan Mongabay mendokumentasikan 1.650 monyet ekor panjang dan 77 beruk diperjualbelikan pada 26 e‑commerce di 11 provinsi selama 2020–2022[9]. Ini merupakan suatu indikasi kuat bahwa perpindahan ke kanal daring[10]. Pada sisi permintaan, data historis pada 2012 mengonfirmasi murahnya harga jual dipasar sehingga memudahkan bagi konsumen: di pasar burung Jawa–Bali–Sumatra, monyet ekor panjang pernah dijual dengan Rp125.000–Rp250.000 per ekor[11]. Meski angka itu berusia lebih dari satu dekade dan harga kini kemungkinan lebih tinggi, basis historis ini relevan untuk menjelaskan kenapa masih ada permintaan atas satwa ini. Ketika satwa mudah diperoleh dengan harga murah, permintaan akan selalu terbentuk dan bertahan, terlebih jika diperkuat adanya budaya topeng monyet yang menjadi hiburan murah bagi masyarakat.
Pada tataran internasional, Indonesia berada di bawah kerangka CITES Appendix II, yang mengizinkan perdagangan monyet ekor panjang memenuhi syarat Non‑Detriment Findings (NDF) dan izin yang memastikan aktivitas tidak merusak populasi liar[12]. Realitas lapangan dari data FOIA otoritas AS yang diberitakan Tempo pada 2023, 1.402 ekor monyet ekor panjang hasil tangkapan liar dari Indonesia tercatat diimpor industri riset AS, dalam tiga pengiriman pada Mei dan Desember[13]. Jumlah ini meningkat 40% dari tahun sebelumnya, 990 ekor. Angka ini sangat mencurigakan sekali karena NDF yang diterbitkan oleh pemerintah Indonesia yang berisi data sampai dengan 2021, hanya terdapat 317 aktual ekspor yang dilakukan. Kecurigaannya jelas, publikasi NDF dan izin formal bukan jaminan bahwa bisa saja terjadi jual-beli satwa diluar izin maksimal yang ditetapkan. Dengan kata lain, angka diatas kertas tidak menjamin transaksi ilegal spesies ini.
Dimensi kesehatan juga menjadi perhatian. Studi di empat habitat wisata Aceh menemukan 45% sampel feses monyet ekor panjang positif parasit gastrointestinal, dengan dominasi nematoda zoonotik seperti Ancylostoma spp., Oesophagostomum spp., dan Strongyloides spp., menandakan rantai transmisi yang masuk akal di lokasi dengan intensitas kontak manusia–primata yang tinggi[14]. Kajian One Health di Ciampea, Bogor, mendeskripsikan perilaku makan oportunistik monyet pada hamparan sampah pasar, yang mempersingkat jarak epidemiologis antara patogen lingkungan dan tubuh manusia[15]. Bahkan pada fase pascapenyitaan, KLHK menegaskan pelepasliaran tidak dapat dilakukan serampangan karena berisiko memindahkan patogen ke manusia maupun satwa liar lain[16]. Secara analitis, jalur risiko mencakup pasar fisik (kontak langsung), pemeliharaan rumah tangga (aerosol/lesi), wisata interaktif (gigitan/cakaran), logistik perdagangan (stres dan imunosupresi satwa), dan pelepasliaran tanpa protokol (spillback ke komunitas satwa liar); tanpa protokol karantina dan edukasi, setiap simpul menjadi amplifier zoonosis.
Hambatan regulasi domestik memperumit semua simpul itu. Monyet ekor panjang dan beruk belum berstatus “satwa dilindungi” dalam daftar nasional sehingga penindakan terhadap perdagangan domestik kerap terbentur pada ketiadaan pasal spesifik spesies[17].
Menindaklanjuti analisis di atas, prioritas pertama yang paling rasional sebagai solusi menjadi keberlangsungan satwa tersebut adalah menutup celah hukum di hulu dengan segera menetapkan monyet ekor panjang dan beruk sebagai satwa dilindungi pada tingkat nasional. Penyelarasan ini akan mengubah kalkulasi ekonomi pelaku, dari semula biaya pelanggaran rendah menjadi tinggi, karena pasal pidana konservasi bisa diterapkan langsung pada komoditas yang paling sering diperdagangkan. Kejelasan status hukum akan memperkuat efek jera di pasar dan mempersempit ruang abu‑abu penafsiran, sekaligus memberi sinyal kuat kepada pemerintah daerah, pengelola pasar, dan platform digital bahwa negara menempatkan perlindungan primata sebagai kepentingan strategis. Agar transisi berjalan efektif, kebijakan ini sebaiknya diiringi masa grace period yang singkat namun jelas, fokus pada sosialisasi aturan dan opsi alih profesi bagi pihak-pihak yang terdampak, sehingga tekanan penegakan tidak memukul kelompok rentan tetapi tetap mengubah perilaku pasar secara cepat.
Pada saat yang sama, arsitektur CITES yang sudah ada perlu “diturunkan” ke praktik nyata dengan mengkonfirmasi angka-angka yang dipubikasikan oleh pemerintah dengan audit forensik. Bila perlu, lakukan tindakan preventif seperti razia fisik pada titik penangkaran yang akan melakukan ekspor. Langkah ini berfungsi ganda, pertama menutup peluang rekayasa angka tangkapan liar sebagai hasil penangkaran dan memulihkan kredibilitas Indonesia di mata internasional.
Selain itu, Pemerintah dapat memperkuat skema ini lewat insentif fiskal terbatas, misalnya penetapan tarif bagi satwa yang dihasilkan dari perburuan dialam liar dan tarif yang lebih rendah untuk hasil pembiakan. Karena perdagangan telah bermigrasi ke ruang digital, penegakan hukum perlu bertransformasi dari razia reaktif menjadi intelijen siber proaktif. Apabila terdeteksi adanya kelebihan kuota dan penyelewenangan atas ketentuan yang berlaku, satuan gugus penegakan hukum lintas instansi dapat diinisiasi untuk memperkuat penegakan hukum.
Selanjutnya, pada dimensi kesehatan publik, pemerintah perlu menetapkan protokol yang sama tegasnya. Di semua titik interaksi manusia–primata (wisata, pemukiman, pasar satwa), terapkan SOP bebas kontak (no‑feeding, no‑handling), pengelolaan sampah dan pakan berpagar. Selain itu, papan informasi risiko zoonosis yang mudah dipahami perlu diperbanyak pada titik-titik tersebut. Di tingkat layanan kesehatan, program kewaspadaan zoonosis perlu memasukkan paparan primata sebagai faktor anamnesis standar di puskesmas/RS rujukan wilayah berisiko, sehingga jalur deteksi dini dan penanganan klinis lebih siap.
Selain itu, dari sisi permintaan. Kampanye publik harus dimasifkan dengan berfokus pada informasi risiko hukum, risiko kesehatan keluarga, dan penderitaan satwa (efektif jika disertai alternatif konsumsi dan hiburan: misalnya, mengganti pertunjukan topeng monyet dengan program seni jalanan ramah satwa). Untuk komunitas yang selama ini bergantung pada satwa sebagai sumber nafkah, siapkan jalur alih profesi dengan akses permodalan mikro, pelatihan, dan pasar. Tujuannya adalah mendorong perubahan perilaku dengan tidak sekadar memaksakan peraturan namun juga memudahkan dengan memberikan jalan keluar.
Pada akhirnya, krisis konservasi monyet ekor panjang dan beruk adalah cermin dari keseimbangan yang rapuh antara kebutuhan kita sebagai manusia dan hak hidup satwa liar yang merupakan bagian dari lingkungan kita. Seluruh bukti menunjukkan bahwa ini adalah masalah sistemik yang menuntut perubahan sistemik, yaitu melindungi di hulu, memutus pasar di hilir, memperkuat kepatuhan pada lintas perbatasan, dan menutup pintu zoonosis. Cara kita memperlakukan kerabat dekat kita di rimba adalah cermin peradaban. Dengan mengakhiri eksploitasi dan memilih merawat bukan hanya menyelamatkan satwa, melainkan menjaga kesehatan, martabat, dan masa depan kita sendiri. Ini merupakan sebuah pilihan yang menuntut keberanian dan energi yang panjang, agar hutan dan generasi selanjutnya dapat menikmati alam hingga ribuan tahun mendatang.
[1] Budi Candra Setya, “Indonesia Dilaporkan Ekspor 1.400 Monyet Hasil Tangkapan Liar Ke Amerika Pada 2023,” in Action for Primates, March 2024, https://www.tempo.co/lingkungan/indonesia-dilaporkan-ekspor-1-400-monyet-hasil-tangkapan-liar-ke-amerika-pada-2023--78770.
[2] K. Clare Quinlan, “Southern Pig-Tailed Macaque, Macaca Nemestrina,” September 2020, https://neprimateconservancy.org/southern-pig-tailed-macaque/.
[3] Traffic, “Southeast Asia: At the Heart of Wildlife Trade,” in Southeast Asia: At the Heart of Wildlife Trade, February 2020, https://www.traffic.org/publications/reports/renewed-game-plan-needed-to-tackle-southeast-asias-massive-wildlife-trafficking-problem/.
[4] Luh De Suriyani, “Tantangan Perdagangan Monyet Ekor Panjang Di Bali,” in Mongabay Indonesia, October 2021, https://mongabay.co.id/2021/10/08/tantangan-perdagangan-monyet-ekor-panjang-di-bali/.
[5] BRIN and KLHK, Non-Detrimental Findings (NDF for Long-Tailed Macaque (Macaca Fascicularis) in Indonesia (BRIN dan KLHK, 2023), https://cites.org/sites/default/files/ndf_material/NDF_MEP_Indonesia_2023%20%281%29.pdf.
[6] Wildlife Conservation Society, “Wildlife Trade and Policy Program,” 2021, https://programs.wcs.org/indonesia/Program/Wildlife-Trade-and-Policy-Program.aspx.
[7] Anugrah Andriansyah, “Meski Terancam Punah, Monyet Ekor Panjang Masih Kerap Dieksploitasi Di Indonesia,” in Jakarta Animal Aid Network, August 2022, https://www.voaindonesia.com/a/meski-terancam-punah-monyet-ekor-panjang-masih-kerap-dieksploitasi-di-indonesia/6722212.html.
[8] Suriyani, “Tantangan Perdagangan Monyet Ekor Panjang Di Bali.”
[9] Balqis Alisha et al., “Topeng Monyet Keliling: Jeritan Satwa Atas Nama Ekonomi,” in Mongabay Indonesia, January 2025, https://mongabay.co.id/2025/01/03/topeng-monyet-keliling-jeritan-satwa-atas-nama-ekonomi/.
[10] Traffic, “Southeast Asia: At the Heart of Wildlife Trade.”
[11] Ayut Enggeliah E, “Monyet Ekor Panjang: Tak Terlindungi Dan Paling Banyak Diperdagangkan Di Pasar Burung,” in YIARI, May 2012, https://yiari.or.id/monyet-ekor-panjang-tak-terlindungi-dan-paling-banyak-diperdagangkan-di-pasar-burung/.
[12] BRIN and KLHK, Non-Detrimental Findings (NDF for Long-Tailed Macaque (Macaca Fascicularis) in Indonesia.
[13] Setya, “Indonesia Dilaporkan Ekspor 1.400 Monyet Hasil Tangkapan Liar Ke Amerika Pada 2023.”
[14] Muhammad Hanafiah et al., “Prevalence and Characterization of Gastrointestinal and Ectoparasites in Long-Tailed Macaques (Macaca Fascicularis) from Ecotourism Regions of Aceh, Indonesia,” Veterinary World, Veterinary World, June 2025, 1527–39, https://doi.org/10.14202/vetworld.2025.1527-1539.
[15] Putra Ara et al., “Kajian One Health: Perilaku Makan Dan Preferensi Pakan Monyet Ekor Panjang (Macaca Fascicularis) Di Hamparan Sampah Pasar Ciampea Bogor Sebagai Potensi Penyebaran Zoonosis,” Jurnal Primatologi Indonesia 14, no. 2 (2017), https://primata.ipb.ac.id/wp-content/uploads/2020/10/JPI-Vol.-14-No-2-2017-8-14.pdf.
[16] BBKSDA Jawa Timur, “Melepasliarkan Satwa Liar Tidak Bisa Sembarangan, Picu Risiko Zoonosis,” in BBKSDA Jawa Timur, August 2025, https://ksdae.kehutanan.go.id/berita/13518/Melepasliarkan-Satwa-Liar-Tidak-Bisa-Sembarangan-Picu-Risiko-Zoonosis.html.
[17] Purnama, “KLHK Ungkap Alasan Monyet Ekor Panjang Belum Masuk Satwa Dilindungi.”
Komentar
Posting Komentar